Selamat Datang Di Blog Nandi Ilham Maulana .. :)

Jumat, 01 Juni 2012

Cerpen Hari Pertama di Sekolah


"Bi, kata Umi besok Syahd udah boleh masuk sekolah" tiba-tiba suara kecil itu membuyarkan konsentrasiku. Putri sulungku yang usianya baru menginjak lima tahun mendekat dan duduk di sampingku. Gurat kegembiraan tampak jelas di wajahnya.
Aku letakkan majalah Hidayatullah yang baru saja aku baca di atas meja.
"Memangnya Syahd udah siap jadi anak sekolah?" tanyaku sambil kubelai ubun-ubunnya.
Ia nyengir. Giginya yang belum rata tak malu ia tampakkan, seperti iklan pasta gigi di televisi.
"Insyaallah" jawabnya masih agak cedal mengucapkan lafzhul jalalah.
"Kalau begitu mulai besok, Syahd udah nggak boleh malas-malasan lagi. Syahd harus rajin-rajin belajar biar jadi anak pandai dan sholehah, karena Syahd sekarang udah gede, bukan kayak anak kecil lagi" tuturku membesarkan hatinya.
"Iya, nggak kayak Hammudi yang bisanya cuman tiduu..r melulu. Kalau nggak maen ya tidur. Kalau Syahd lagi belajar ngaji sama Umi, dia sukanya usil, gangguin Syahd melulu. Iiii..hh, Syahd sebel banget" cerocosnya polos.
"Hmmm… nggak boleh begitu. Hammud kan masih kecil, dia belum bisa belajar kayak kak Syahd. Nah, kak Syahd yang udah bisa ngaji harusnya nanti yang gantian ngajarin Hammud"
"Tapi dia itu Bi, kalau mau diajarin sukanya maeen melulu, Umi aja sampai capek nggak mau ngajarin lagi. Dia sukanya maen robot-robotan sama mobil, nggak mau disuruh ngaji"
"Ya udah, sekarang kak Syahd balik ke kamar, gih. Malam ini kak Syahd harus tidur awal biar besok bisa bangun pagi dan berangkat ke sekolah. Kalau tidurnya kemalaman besok bisa terlambat" ujarku menasehatinya.
"Bi, besok Abi ikut nganterin Syahd ke sekolah, nggak? Soalnya Syahd masih takut" tanyanya manja.
"Kan ada Umi. Besok insyaallah Umi yang nganterin kak Syahd berangkat ke sekolah. Soalnya Abi harus berangkat kerja, sayang. Tapi, insyaallah Abi usahakan deh ikut anterin sampai ke pintu gerbang sekolah. Kak Syahd nggak perlu takut, kan udah gede"
"Tapi Syahd masih takut sama orang-orang jahat"
Aku tertawa geli.
"Sayang… di sekolah mana ada orang jahat. Ntar di sana kak Syahd bakal ketemu sama temen-temen baek, juga sama Ustadzah-ustadzah yang baek hati. Pokoknya menyenangkan deh. Udah, sekarang kak Syahd tidur dulu, gih"
Lalu aku memanggil istriku.
"Mi, Umi!" teriakku.
"Iya, Bi" jawabnya dari dalam rumah.
Ia pun datang.
"Seragam Syahd udah dipersiapkan, Mi? Besok dia kan mau ke sekolah." tanyaku.
"Udah. Buku tulis sama pensil dan peralatan lainnya juga udah Umi masukin semua ke dalam tas. Emang kenapa, Bi?" ia balik bertanya.
"Nggak papa. Sekarang temenin anak-anak tidur dulu, biar besok nggak kesiangan bangunnya"
"Abi besok bisa nganterin kan?" ia bertanya lagi.
"Insyallah, tapi cuma sampai di pintu gerbang aja. Karena Abi harus sampai di kantor sebelum jam setengah delapan."
Lalu istriku membawanya masuk ke dalam kamar. Aku mengambil kembali majalah di meja dan melanjutkan lagi bacaanku.
Selang beberapa menit kemudian istriku keluar dari kamar. Ia duduk di sofa bersamaku.
"Anak-anak sudah tidur, Mi?" tanyaku.
"Sudah. Kalau yang kecil sudah sejak tadi. Kakaknya yang agak terlambat tidurnya."
"Sepertinya dia gembira sekali hari ini ya, Mi?" tanyaku meminta pendapatnya.
"Sebenarnya sudah sejak lama dia minta sekolah. Tapi umurnya kan masih kecil. Sekarang saja baru lima tahun, padahal usia minimal untuk anak SD kan enam tahun. Sejak dulu dia merengek-rengek minta dimasukkan ke sekolah." tuturnya menjelaskan anak pertama kami yang dulu pernah menangis minta dibelikan tas karena melihat teman-temannya memiliki tas.
"Kalau menurut Abi sih tak masalah anak seumur itu dimasukkan sekolah. Lagipula Syahd kan belum pernah merasakan taman kanak-kanak. Mungkin keinginannya untuk pergi ke sekolah saat melihat kawan-kawan seusianya pergi ke sekolah itu sudah lama ia rasakan. Justru menurut Abi itu pertanda baik, karena sebagian anak seusianya ada yang justru tidak mau dimasukkan sekolah. Abi dulu masuk SD juga sewaktu berumur lima tahun, padahal Abi baru setahun masuk TK." ujarku bangga mengenang masa kecilku.
Tiba-tiba istriku tersenyum.
"Abi dulu sewaktu masih kecil pasti bandel ya?" selorohnya sambil nyengir.
Wah, mau mengajak perang lagi nih anak, pikirku. Ini pertanyaan yang sulit kujawab.
"Tentu saja iya." jawabku, "Sampai sekarang aja masih bandel kok. Umi sendiri yang pernah bilang." jurus menjatuhkan diri kupakai sebelum ia menjatuhkanku. Ini adalah jurus andalanku yang sering kupakai untuk mematahkan serangannya.
Ia tersenyum lagi lalu kembali menyerangku.
"Pantas saja dulu pernah tak naik kelas, habisnya bandel sih! Jadi sama saja, SD-nya tujuh tahun" kali ini ia tersenyum penuh kemenangan.
Aku tak boleh kalah. Aku akan mematahkannya.
"Tapi itu kan dulu sewaktu SD. Masih dalam tahap uji coba. Setelah itu Abi justru selalu menjadi juara bertahan di Mts dan Aliyah. Bahkan Umi saja tak bisa mengalahkan Abi, kecuali satu kali, pada Cawu ketiga kelas dua Aliyah. Itu pun karena Abi sedang sakit waktu itu. Abi terkena typhus seminggu sebelum ujian kenaikan kelas. Jadinya Umi deh yang menempati posisi Abi di ranking satu." balasku mengingatkan akan masa-masa persaingan di Madrasah Aliyah dahulu. Dia memang selalu menjadi rivalku di kelas. Dia berada satu peringkat di bawahku, namun tak pernah menduduki peringkat pertama kecuali sekali saja.
Ia hanya tersenyum malu tak bisa menjawab. Kali ini aku menang.
"Bi, Abi masih ingat nggak waktu Abi ngisi kultum Ramadhan di masjid sekolah waktu itu?" tiba-tiba dia mengalihkan pembicaraannya.
"Masih. Waktu kepala sekolahnya masih Pak Ali Mursyidi itu kan?" tanyaku memastikan.
"Iya. Waktu itu Abi memberi materi tentang konsep Islam dalam menjaga hubungan antara laki-laki dan perempuan. Abi mengutip surat An Nur ayat 30." lanjutnya menyeret ingatanku kembali ke belakang sembilan tahun lalu. Memutar kembali pita-pita memori yang sebagiannya mulai tertutupi oleh debu-debu serangkaian peristiwa yang dibawa oleh angin zaman. Mengingat masa-masa indah di Madrasah Aliyah.
"Ya, Abi masih ingat, waktu itu Abi ditunjuk oleh ketua Rohis untuk mengisi kultum bakda Isya." tuturku sambil menerawang.
"Bi, waktu itu Abi sudah ada keinginan untuk menikah atau belum?" tanyanya sambil tersenyum.
Aku tak langsung menjawab. Aku masih mencari sebab pertanyaannya. Ia biasa menjebakku untuk bercerita lalu jika ada kesempatan ia menyerangku.
"Mmm, kayaknya belum deh. Tapi waktu itu Abi pernah jatuh cinta sama seorang akhwat. Akhwat itu sangat anggun dan memikat hati Abi. Waktu itu Abi hanya bisa berdoa semoga dikaruniakan seorang istri yang sholehah." jawabku sambil meliriknya.
Kini senyumnya tak secerah tadi. Aku melanjutkan ceritaku.
"Setiap kali Abi bertemu dengannya, hati Abi selalu berdesir. Dia sangat sopan sekali. Abi semakin tak kuasa menahan hati. Dia juga sangat cerdas, pandai, dan sholehah. Menurut Abi ia adalah tipe seorang akhwat yang ideal. Tapi…" aku sengaja tak meneruskannya.
"Tapi kenapa Bi…?" kini ia bertanya penuh antusias.
"Waktu itu Abi jadi berharap ingin menikah dengannya." lanjutku dengan nada rendah. Aku meliriknya lagi tanpa sepengetahuannya. Kini senyuman itu mulai memudar, tak seindah tadi. Lalu kulanjutkan ceritaku.
"Sejak saat itu Abi selalu memikirkannya siang dan malam. Abi benar-benar terjebak dalam jaring asmaranya. Bukan hanya kecantikan akhwat itu yang membuat Abi tergila-gila padanya, namun keindahan perilaku dan budi pekertinya. Abi belum pernah menemukan wanita sepertinya, bahkan hingga saat ini. Namun, tak lama kemudian seakan Tuhan mendengarkan rintihan doa yang selalu Abi panjatkan di setiap penghujung shalat." lalu aku tersenyum sendiri sambil menatap ruang hampa seolah-olah kejadian itu terulang di depan mata. Aku melanjutkannya lagi.
"Oya, Umi mau tahu nggak siapa nama akhwat itu?" tanyaku sambil kupandangi wajahnya yang sejak tadi berubah menjadi layu. Hanya tersisa senyuman tanpa makna. Namun ia tak menjawab. Aku mencium aroma ketidaksenangan dari ekspresi wajahnya. Aku melanjutkan lagi.
"Abi selalu bersyukur kepada Yang Maha Esa. Abi tak menyangka ternyata Allah mengabulkan doa Abi, karena akhwat itu kini telah menjadi milik Abi dan saat ini duduk bersama Abi memandangi wajah Abi dengan penuh rasa kecemburuan."
Tiba-tiba sebuah bantal melayang di wajahku. Aku lalu berlari menuju kamar sambil tertawa. Ia mengejarku sambil melempariku dengan bantal-bantal yang ada di sofa.
Setelah itu kami menutup malam bersama dengan cinta. Kami menghabiskannya dalam mimpi indah. Kami saling meluapkan rasa cinta bersama dalam desah-desah kebahagiaan. Hanya kami yang tahu dan merasakannya.

***

Pagi yang indah menjelma. Sinar mentari yang membawa cahaya kehangatan datang menyapa. Menemai nyanyian beburungan yang riang di dahan-dahan pohon. Aku menutup lembaran mushaf yang ada di tanganku. Surat Yusuf yang baru saja aku baca telah menginjeksikan semangat baru dalam jiwaku untuk mengarungi samudera kehidupan.
Lalu aku berjalan menuju kamar untuk mempersiapkan perlengkapan kerjaku. Pagi ini aku memiliki waktu agak longgar, karena aku sudah mandi sebelum shubuh tadi. Jadi aku bisa memanfaatkan sedikit waktu luang untuk membuka kembali hasil kerjaku di laptop sambil memeriksa jika terjadi kesalahan.
Tiba-tiba suara kecil yang tak asing di telingaku menyapa.
"Abi, lihat sini!" teriaknya.
Aku menoleh sambil membalikkan badan. Seorang anak kecil telah berdiri di depan pintu kamarku dengan pakaian seragam sekolah sambil mencangklong tas.
"Subhanallah. Mau pergi ke mana pagi-pagi begini?" tanyaku seakan penasaran.
"Syahd mau pergi ke sekolah" jawabnya. Seutas senyum manis melebar melukiskan suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga.
"Apa nama sekolahnya?" tanyaku lagi.
"Sekolah Dasar Intensif Terpadu Al Fatonah" senyumnya semakin mengembang. Kami baru saja mendaftarkannya ke sekolah itu beberapa hari lalu. Ia pun selalu mengingat-ingat nama sekolah yang akan ditempatinya itu.
"Abi boleh ikut sekolah nggak?" tanyaku lagi basa-basi.
"Boleh. Eh, tapi kata Umi sekolah itu cuma untuk akhwat aja" jawabnya lugu.
Kami memang sengaja memilihkan untuknya sekolah yang tidak mencampur para murid laki-laki dengan perempuan. Di zaman yang serba permisif ini, kalau tidak pandai-pandai memilihkan sekolah yang tepat bagi anak bisa berakibat fatal. Berbagai penyimpangan perilaku moral anak yang kerap dijumpai dewasa ini adalah salah satu dampak dari pengaruh lingkungan sekolah yang tidak memperhatikan hubungan antara para murid, khususnya hubungan antar jenis.
Tapi, syukurlah masih ada usaha-usaha dari beberapa yayasan pendidikan Islam yang menyediakan solusi untuk masalah ini. Sekolah-sekolah yang menerapkan sistem pendidikan Islami pun mulai bermunculan. Menjaga keselamatan akidah dan moral anak menjadi prioritas utama bagi kami.
Tiba-tiba istriku muncul di belakangnya.
"Bi, sarapannya sudah siap. Sudah jam enam, lho!" ujarnya.
"Oke, sebentar lagi. Umi duluan aja nanti Abi menyusul." jawabku sambil membalikkan badan untuk mematikan laptopku.
Setelah sarapan, aku mengenakan jaket dan helmku. Lalu kukeluarkan motor Tiger-ku. Istriku sudah menunggu di luar bersama putriku.
"Mi, bagaimana nanti kalau Hammud bangun?" tanyaku khawatir akan putra kedua kami yang masih tidur jika terbangun dan tidak mendapati siapapun di rumah.
"Insyaallah Umi nanti akan segera pulang sebelum ia bangun. Ia biasa bangun sekitar pukul sembilan-an." jawabnya dengan pasti.
Setelah itu mereka berdua kuboncengkan di atas motor, aku mengantarkan mereka menuju ke sekolah. Memang letak sekolah itu tak jauh dari rumah kami, hanya beberapa ratus meter saja. Namun sangat tidak baik jika harus berjalan kaki karena harus melewati jalan raya yang penuh kendaran berkecepatan tinggi. Kecelakaan rawan terjadi di tempat itu. Kami tak mau mengambil resiko. Lagipula, mumpung aku juga ingin berangkat kerja, jadi sekalian saja.
Setelah sampai di depan pintu gerbang sekolah aku pamit untuk melanjutkan perjalanan ke kantor.
Setengah jam kemudian aku sampai di halaman kantor. Aku lihat jam tanganku. Alhamdulillah tidak terlambat, masih ada sepuluh menit lagi sebelum kantor buka. Aku parkirkan motorku lalu berjalan menuju ke mushola untuk shalat dhuha. Di sana beberapa karyawan sedang duduk sambil berbincang-bincang, sebagiannya lagi sedang membaca Al Qur’an dengan khusyuk, termasuk Sofian, kawan akrabku yang dulu pernah menolongku ketika boss marah-marah karena aku terlambat menyerahkan orderan dan hampir memecatku.
"Assalamu’alaikum" sapaku.
Ia menoleh ke arahku.
"Wa’alaikumussalam. Hei, Dan! Sudah lama datang?" tanyanya.
Aku memberinya isyarat untuk melanjutkan tilawahnya.
"Ah baru saja, aku mau shalat dua rakaat dulu. Sori kalau aku mengganggu tilawahmu" ujarku.
"Ah, tak apa-apa. Aku cuma sedang membaca terjemahnya saja." jawabnya dengan logat Medan-nya yang sangat kental.
Selepas shalat kami berbincang-bincang saling bertanya mengenai kabar masing-masing dan kondisi keluarga serta perkembangan terbaru di kantor. Setelah itu kami masuk ke dalam kantor bersama para karyawan lainnya.
Kami bekerja di sebuah perusahaan percetakan yang menyediakan jasa desain grafis. Kami biasa menerima orderan dari para pelanggan untuk membuat kartu undangan, spanduk, brosur, majalah, membuat logo untuk perusahaan, sekolah, ataupun instansi-instansi baik swasta maupun pemerintah, juga merancang desain untuk sebuah website, ataupun desain foto sebelum dicetak dan lain sebagainya.
Perusahaan kami tergolong besar dan sukses. Manajer kami selalu menekankan kepada kami profesionalitas dalam bekerja. Kepuasan pelanggan selalu menjadi prioritas. Bahkan boss kami tak segan-segan memecat karyawan yang tak memiliki kinerja yang baik.
Satu jam kemudian tiba-tiba HP-ku berbunyi. Kulihat pada layar. Sebuah pesan kuterima. Aku membukanya. Rupanya dari istriku. Aku membacanya perlahan. Aku terkejut bukan main. Syahd masuk rumah sakit? Kecelakaan? Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Aku segera menelponnya.
"Hallo Assalamualaikum" sapaku.
"Walaikumsalam" jawabnya dari seberang sana.
"Umi sekarang di mana?" tanyaku cemas.
"Di rumah sakit, Bi. Umi baru saja sampai lima menit tadi. Syahd sedang dirawat di sini. Katanya ia tertabrak sepeda motor. Dia…"
"Oke… oke… oke… sekarang Umi di rumah sakit mana?" tanyaku lagi.
"Rumah Sakit As Syifa, jalan Diponegoro 60" jawabnya agak gugup.
"Sekarang Umi tenang saja. Abi akan segera menyusul kesana" jawabku singkat. Lalu kututup HP-ku.
Aku segera minta izin kepada manajer sambil kuceritakan permasalahanku. Syukurlah ia bisa memahami. Aku lalu melesat dengan Tiger-ku menuju rumah sakit.
Sesampai di sana, segera kuparkir motorku lalu kutelpon kembali istriku.
"Sekarang Umi berada di kamar nomor berapa?" tanyaku tanpa basa-basi.
"nomor 320 lantai dua" jawabnya.
Aku tutup lagi HP-ku lalu berlari menuju lantai dua. Aku sisir satu persatu setiap kamar di rumah sakit. Hingga sampailah ke kamar tujuan. Aku segera mengetok pintu lalu membukanya. Istriku yang semula sedang duduk di kursi berdiri. Air wajahnya tampak menyiratkan kesedihan yang mendalam. Di atas kasur rumah sakit kulihat putri sulungku terbaring lemah dengan beberapa perban di kepala dan sebagian tubuhnya.
"Bagaimana kejadiannya, Mi?" tanyaku cemas.
"Ia tertabrak motor, Bi. Kata orang yang melihatnya, ia terlempar sampai beberapa meter." terangnya sambil mengusap air matanya.
"Bagaimana hal itu bisa terjadi? Bukankah dia sedang berada di sekolah?" tanyaku lagi penasaran.
"Itulah, Bi. Umi juga heran" jawabnya dengan nada sedih.
Setelah itu kami terdiam. Aku duduk di samping kasur sambil kupandangi wajah putriku yang sedang tak sadarkan diri itu. Aku mengambil telapak tangannya lalu kucium. Senyum manisnya masih belum hilang dari ingatanku saat aku pamit sebelum pergi kerja pagi tadi.
"Bi, Syahd masih takut" katanya.
"Nggak papa. Nanti Umi yang menemani Syahd di sekolah" jawabku menenangkan hatinya.
Aku menoleh ke arah istriku. Gurat kesedihan di wajahnya masih belum hilang.
"Mi, kenapa Syahd bisa keluar dari sekolah tanpa sepengetahuan Umi?" tanyaku penasaran.
Ia mengusap air matanya.
"Tadi Umi pulang sebentar, Bi. Rencananya Umi mau mengambil Hammud karena sudah jam sembilan lalu mau Umi ajak ke sekolah sambil menemani Syahd pulang nanti. Umi khawatir kalau dia bangun sebelum Umi sampai di rumah. Sesampai di rumah Umi ditelpon sama Ustadzah Fatimah, katanya Syahd tiba-tiba keluar kelas dan menangis lalu pergi menyusulku. Ustadzah berusaha mengejarnya tapi Syahd keburu keluar dari sekolah dan berlari ke jalan raya. Setelah itu ada seseorang yang memberitahu pihak sekolah bahwa salah seorang murid tertabrak sepeda motor." terangnya sambil menahan isak.
Aku baru paham sekarang. Mungkin ia melihat istriku ketika pergi, lalu ia menyusulnya karena mengira akan ditinggalkan sendirian di sekolah.
Aku hanya bisa berharap semoga tak terjadi apa-apa dengan putriku.
"Apa kata dokter, Mi?" tanyaku lagi.
"Katanya tak apa-apa, hanya terjadi pendarahan ringan di kepala dan beberapa luka di tangan dan kakinya"
Pendarahan di kepala? Sebuah kata yang aku takuti.
Tiba-tiba aku melihat putriku menggerak-gerakkan tangannya. Sepertinya ia akan siuman. Aku segera mengalihkan perhatianku kepadanya. Ternyata benar, ia membuka matanya. Tiba-tiba ia tersenyum. Betapa bahagianya aku melihatnya siuman. Sepertinya ia ingin mengucapkan sesuatu.
"Bi…" ucapnya lirih.
"Iya sayang. Ini Abi di sini" jawabku dengan perasaan setengah gembira.
"Bi, di mana tasku?" katanya.
Tiba-tiba hatiku terenyuh mendengar pertanyaannya. Di saat kondisinya seperti ini ia malah menanyakan sesuatu yang amat remeh.
Aku mengalihkan pandanganku ke istriku. Ia lalu mendekat ke arahnya.
"Sayang, tas Syahd masih ada, Syahd tak perlu khawatir. Sekarang bagaimana kondisimu, sayang?" tanyanya.
"Syahd mau tas itu" rengeknya sambil mau menangis.
Aku memberi isyarat kepada istriku untuk segera memberikannya. Ia membalas dengan isyarat pula. Aku baru memahami bahwa tasnya sedang tak ada di sini. Lalu kami memikirkan cara terbaik untuk menenangkan hatinya.
Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu. Istriku membukanya. Seorang wanita dengan pakaian muslimah rapi sedang bersalaman dengan istriku. Lalu istriku membawanya masuk. Aku berdiri agak menjauh mempersilahkan mereka. Wanita itu membawa sebuah tas kecil berwarna pink bergambar barbie yang tak asing bagiku. Ia mendekati putriku.
"Syahd, gimana kondisimu, sayang?" tanyanya ramah.
Putriku mengalihkan pandangannya ke ibunya.
"Umi, itu tas punya Syahd bukan?" tanyanya sambil menunjuk tas yang diwaba wanita tersebut. Wanita tersebut yang menjawab.
"Iya, sayang ini tasnya Syahd. Tadi masih ketinggalan di kelas" kata wanita yang aku mengira adalah seorang Ustadzah itu. Lalu ia memberikan tas itu kepadanya.
Putriku tersenyum sambil memeluk tas kesayangannya yang aku belikan beberapa waktu lalu itu. Kini raut kesedihan itu hilang dari wajahnya. Berganti kegembiraan yang mengembang seakan tak pernah terjadi apa-apa dengannya.
Aku sendiri masih belum terlalu pandai memahami kejiwaan seorang anak. Bagaimana mungkin kegembiraannya kembali sekejap itu hanya dengan melihat sebuah tas kecil yang baru dimilikinya. Ah, ternyata aku masih perlu belajar lebih banyak lagi.
Tiba-tiba wajah putriku kembali murung. Ia membuka tasnya dan melihat-lihat isinya.
"Umi, ini bukan tas Syahd" katanya. Wajahnya tampak mau menangis.
Kami semua terkejut. Ustadzah itu mengambil tas tersebut lalu melihat isinya. Ternyata benar, tas itu tertukar dengan tas putrinya yang kebetulan sama bentuk dan warnanya. Kotan kami semua tertawa melihat hal itu.
Yang membuat kami tertawa lebih lagi adalah putriku yang semula murung hampir menangis jadi ikut tertawa karena melihat kami semua tertawa. Kamar rumah sakit itu pun penuh dengan suara tawa kami. Ah, berwarnanya hidup ini.

Selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar